ARAH KIBLAT MENJAGA PERSATUAN DAN KETENANGAN UMAT DALAM BERIBADAH
Posted by Arif As 66 BTG on 7:20 AM
A. MUKADIMAH
Shalat adalah rukun Islam
terpenting setelah Syahadatain, dan merupakan amal Ibadah badaniyah
yang paling utama dibandingkan Ibadah badaniyah lainnya semisal puasa,
zakat ataupun haji. Sebagai ibadah, shalat memiliki aturan-aturan yang
harus dipenuhi demi keabsahan shalat itu sendiri, dalam bahasa fuqaha
disebut dengan syarat dan rukun. Di antara syarat-syarat tersebut
adalah menghadap kiblat, yang mana oleh Fuqaha telah disepakati sebagai
syarat keabsahan sholat kecuali dalam 2 permasalahan, yaitu sholat
dalam keadaan syiddatul khauf dan sholat sunnah ketika di atas
kendaraan
Berkenaan dengan konsep
menghadap kiblat dalam shalat, perbedaan pendapat di kalangan Ulama
tentang hal ini bukan hal baru lagi. Perbedaan tersebut mestinya
bukanlah sumber dari perpecahan di kalangan umat Islam. Sebaliknya
pendapat-pendapat Ulama salaf sesuai ijtihad mereka masing-masing
tersebut pada hakikatnya adalah solusi yang arif bagi kita dalam
menyikapi perbedaan dalam masyarakat kita. Rasulullah SAW telah
mengisyaratkan hal tersebut dalam Sabdanya: اختلاف أمتي رحمة
"Perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat"
Sebagaimana
kita ketahui, akhir-akhir ini di Indonesia kontroversi seputar arah
kiblat kembali mencuat ke permukaan. Beberapa kalangan menyatakan,
bahwa banyak arah kiblat masjid yang sudah ada tidak tepat mengarah ke
bangunan Ka'bah di Makkah, dan perlu dilakukan penyesuaian.Ini
sebenarnya bukan yang pertama terjadi di Indonesia, tapi juga sudah
pernah terjadi pada sekitar tahun 1897 M di Yogyakarta yang dimotori
oleh KH Ahmad Dahlan . Tidak terkecuali masjid paling bersejarah di
tanah Jawa, masjid Agung Demak. Pro dan kontra di antara masyarakat
muslim pun tak terhindarkan lagi, sehingga dibutuhkan solusi bijak
untuk menjaga iklim yang kondusif dan persatuan umat Islam.
B. DASAR HUKUM KEWAJIBAN MENGHADAP KIBLAT DALAM SHOLAT
Menghadap
kiblat merupakan salah satu syarat keabsahan Shalat. Dan para ulama'
telah sepakat bahwa Ka'bah adalah kiblat bagi seluruh umat islam dalam
melaksanakan ibadah shalat. Hal ini dengan berdasarkan firman Allah dan
sabda Rasululullah SAW.
Allah SWT berfirman:
قَدْ
نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاءِ فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً
تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَام [البقرة : 144]
Artinya
:"Sungguh kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka
sungguh kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. "(QS. Al-Baqoroh :144)
Artikulasi
ditetapkannya Ka'bah sebagai kiblat bukan dimaksudkan sebagai bentuk
penyucian (pen-taqlidan) dan pensakralan satu arah tertentu, akan
tetapi eksistensinya dalam pelaksanaan ritual ibadah hanya dimaksudkan
sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah Allah SWT, sebagaimana
firman-Nya:
سَيَقُولُ
السُّفَهَاءُ مِنَ النَّاسِ مَا وَلَّاهُمْ عَنْ قِبْلَتِهِمُ الَّتِي
كَانُوا عَلَيْهَا قُلْ لِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ يَهْدِي مَنْ
يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ (البقرة : 142)
Artinya:"Bahwa
"orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata:apakah
yang memalingkan mereka (umat islam) dari kiblatnya (baitul maqdis)
yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?, katakanlah: kepunyaan
Allah timur dan barat, Dia memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus" (Q.S. al Baqarah : 142)
Ayat
ini menepis anggapan orang-orang yang kurang pikirannya sehingga tidak
dapat memahami maksud pemindahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka'bah.
Kita ketahui bahwa ketika Rasulullah SAW berada di Makkah
ditengah-tengah kaum musyrikin beliau berkiblat ke Baitul Maqdis.
Tetapi setelah 16 atau 17 bulan Nabi berada di Madinah di tengah-tengah
orang Yahudi dan Nasrani, Beliau diperintah oleh Allah Ta'ala untuk
menjadikan Ka'bah sebagai kiblat. Hal ini untuk memberi pengertian
bahwa arah Baitul Maqdis atau Ka'bah bukanlah menjadi tujuan dalam
shalat, tetapi Allah menjadikan Ka'bah sebagai kiblat untuk persatuan
umat islam.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
إذا قمت إلى الصلاة فأسبغ الوضوء ثم استقبل القبلة
"ketika kamu akan mendirikan Sholat, maka sempurnakanlah wudlu kemudian menghadaplah ke kiblat "
عن
أنس أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يصلي نحو بيت المقدس فنزلت ( قد
نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك قبلة ترضاها فول وجهك شطر المسجد
الحرام) فمر رجل من بني سلمة وهم ركوع في صلاة الفجر وقد صلوا ركعة فنادى
ألا إن القبلة قد حولت فمالوا كما هم نحو القبلة
Artinya:
"Bahwa sesunggunya Rasulullah SAW (pada suatu hari) sedang shalat
dengan menghadap Baitul Maqdis, kemudian turunlah ayat "Sesungguhnya
Aku melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh kami palingkan
mukamu ke kiblat yang kamu kehendaki. Palingkanlah mukamu ke arah
Masjidil Haram". Kemudian ada seseorang dari Bani Salamah bepergian,
menjumpai sekelompok sahabat sedang ruku' pada shalat fajar. Lalu ia
menyeru "Sesungguhnya kiblat telah berubah". Lalu mereka berpaling
seperti kelompok Nabi, yakni kearah kiblat"
C. TAFSIR AYAT ( فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَام )
Lafadz
syathr menurut para ‘ulama maknanya adalah jihah, nahwu, qiblat
sebagaimana pendapat imam Nawawi, ibnu Qudamah, imam ‘Ali bin abi
Thalib, ibnu al' Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Sa'id bin Jubair, Qatadah
dan yang lainnya.
Lain
halnya dengan Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj,
beliau menafsiri ayat tersebut dengan 'ainul ka'bah berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan mengarahkan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Baihaqi terkhusus pada penduduk madinah dan yang
searah dengan Madinah.
Dari
sini bisa diketahui bahwa penafsiran Ibnu Hajar berbeda dengan
penafsiran mayoritas Ulama'. Adapun Penafsiran Beliau tentang lafadl
"masjidil haram" dengan ka'bah maka sesuai dengan penafsiran Ulama'
lain karena makna masjidil haram dalam al-Quran itu berputar terhadap
tiga arti :
- Masjidil haram yang artinya ka'bah yaitu pada ayat:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَام ِ[ البقرة : 144/ 149 / 150]
"Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam".
- Masjidil haram yang artinya ka'bah dan sekitarnya
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى [الإسراء : 1]
"Maha Suci Allah, yang
telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil haram ke
Masjid al aqsa" (Q.S. al Isra': 1).
- Masjidil haram yang artinya Makkah Mukarromah
إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ [التوبة : 28]
"Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam" (Q.S. al Taubah: 28).
Bisa
disimpulkan bahwa qaul yang rajih dalam masalah ini adalah pendapat
jumhurul Ulama' karena ibnu Hajar menafsiri syathra al-masjidil haram
dengan ‘ainul ka'bah' berbeda dengan mayoritas Ulama'. Adapun dalil
yang beliau gunakan bisa diarahkan kepada orang yang bisa melihat
ka'bah sebagaimana pendapat mayoritas ulama'.
D. KONSEP MENGHADAP KIBLAT DALAM PANDANGAN ULAMA
Semua
Ulama sepakat bahwa setiap orang yang bisa melihat Ka'bah secara
langsung maka yang menjadi kewajibannya adalah harus menghadap ke
bangunan fisik Ka'bah secara langsung. Adapun orang yang tidak bisa
melihat Ka'bah secara langsung maka Ulama berbeda-beda pendapat sebagai
berikut.
a. Madzhab Hanafi
Mayoritas
ulama' Hanafiyyah berpendapat bahwa orang yang tidak bisa melihat
Ka'bah secara langsung maka ia menghadap ke arah ka'bah Hal ini karena
kewajiban seseorang adalah sebatas perkara yang mampu untuk dikerjakan,
sedangkan menghadap bangunan fisik ka'bah merupakan hal yang tidak
mampu untuk dikerjakan sehingga hukumnya tidak wajib. Pendapat ini
berbeda dengan sebagian kecil dari mereka yang mengharuskan menghadap
fisik ka'bah.
b. Madzhab maliki
Mayoritas
ulama' Malikiyah berpendapat bahwa orang yang bisa melihat Ka'bah
secara langsung maka wajib menghadap fisik Ka'bah. Sementara bagi
mereka yang tidak bisa melihat ka'bah maka cukup dengan menghadap arah
ka'bah, karena andaikan kita diwajibkan menghadap bangunan fisik ka'bah
niscaya kita akan mengalami kesulitan, padahal Allah SWT telah
berfirman
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ [الحج : 78 ]
Artinya: "dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan"(QS.Al-Hajj:78)
Pendapat ini adalah pendapat yang shohih karena beberapa alasan :
1. Menghadap arah Ka'bah adalah perkara yang dalam jangkauan kemampuan orang mukallaf,
2. Menghadap arah Ka'bah adalah hal yang diperintah Allah dalam ayatnya فول وجهك......الأية .
3
Para ulama berhujjah dengan keabsahan sholat jamaah yang panjang
barisannya melebihi lebar ka'bah, padahal sudah dipastikan ada sebagian
ma'mum yang tidak menghadap fisik ka'bah
c. Madzhab Syafi'i
Dalam
Madzhab Syafi'i terdapat 2 qoul tentang ketentuan menghadap qiblat
bagi orang yang tidak bisa melihat ka'bah secara langsung :
1. Qaul pertama, wajib menghadap fisik ka'bah berdasarkan Hadits:
لما
دخل النبي صلى الله عليه وسلم البيت دعا في نواحيه كلها ولم يصل حتى خرج
منه فلما خرج ركع ركعتين في قبل الكعبة وقال هذه القبلة (صحيح البخاري -2 /
157)
Artinya: "Ketika
Rasulullah SAW masuk ke dalam ka'bah beliau berdo'a dan tidak melakukan
shalat di dalam, kemudian ketika beliau keluar dari Ka'bah barulah
melakukan sholat dua rakaat dan berkata "inilah qiblat"
2. Qaul kedua sebagaimana yang dinuqil oleh Imam al-Muzanni, wajib menghadap arah ka'bah berdasarkan Hadits:
ما بين المشرق و المغرب قبلة
Artinya: "Antara timur dan barat adalah kiblat".
Qaul
kedua ini adalah pendapat dipilih dan dikuatkan oleh Imam Ghozali
serta al Mahalli. Bahkan al Adzri'i berkata: "Sebagian pengikut madzhab
Syafi'i menyatakan bahwa pendapat ini adalah qoul jadid dan pendapat
yang dipilih, karena Ka'bah bentuknya kecil dan mustahil bagi seluruh
umat di dunia untuk bisa menghadap tepat pada fisik ka'bah, sehingga
Shalat cukup dengan menghadap arah ka'bah. Oleh karena itu, sholat
jamaah barisan yang panjang ketika mereka jauh dari ka'bah hukumnya sah
semua, padahal sudah dipastikan bahwa di antara mereka ada yang tidak
menghadap tepat ke fisik ka'bah
d. Madzhab Ahmad bin Hanbal
Ulama'
hanabilah berpendapat bahwa orang shalat yang jauh dari Makkah cukup
dengan menghadap arah Ka'bah. Adapun dalil yang dikemukakan oleh Ulama'
hanabilah (sebagaimana dalam kitab mughni) adalah sabda Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh Imam Ibn Majah dan al-Tirmidzi yang berbunyi, "Antara
Timur dan Barat adalah Kiblat"
ULAMA' KONTEMPORER
Pada
bulan Maret 2010 Prof. Dr. Wahbah Zuhaili berkunjung ke Indonesia.
Beliau mendapatkan pertanyaan tentang tanggapan mengenai fatwa MUI -
fatwa no.03 tahun 2010 - yang menyatakan bahwa letak georafis Indonesia
yang berada di bagian Timur Ka'bah, maka kiblat umat Islam Indonesia
adalah menghadap ke arah barat. Beliau menjawab: "Pendapat MUI tepat,
ini adalah qoul rojih yang sesuai pendapat mayoritas Ulama dan tidak
merepotkan umat Islam. Seandainya MUI memfatwakan kewajiban menghadap
fisik Ka'bah maka umat Islam akan dibuat repot, karena efeknya mereka
akan membongkar masjid-masjid yang sudah ada untuk meluruskan arah
kiblat.Dalam Al Fiqh al Islami beliau menyatakan, hadits ما بين المشرق والمغرب القبلة secara dlohir memberikan pemahaman bahwa arah di antara timur dan barat secara keseluruhan adalah kiblat.
TARJIH
Setelah
kita menyimak perbedaan pendapat Ulama dalam kewajiban menghadap
kiblat bagi orang yang tidak bisa melihat ka'bah secara langsung, kita
dapat menyimpulkannya bahwa Perbedaan ini berakar pada dua hadits yang
berbeda. Pertama Hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan Bukhori:
لما دخل النبي صلى الله عليه وسلم البيت دعا في نواحيه كلها ولم يصل حتى خرج منه فلما خرج ركع ركعتين في قبل الكعبة وقال هذه القبلة
Artinya:
"Ketika Rasulullah SAW masuk ke dalam ka'bah beliau berdo'a dan tidak
melakukan shalat di dalam, kemudian ketika beliau keluar dari Ka'bah
barulah melakukan sholat dua rakaat dan berkata "inilah qiblat"
Hadits
di atas menunjukkan bahwa yang dinamakan qiblat adalah bangunan fisik
Ka'bah. Yang kedua adalah Hadits Abu Hurairah yang diriwayatkan Imam
Baihaqi dan Imam Tirmidzi:
ما بين المشرق و المغرب قبلة
Artinya: "Antara timur dan barat adalah Kiblat"
Hadis ini menunjukkan bahwa ka'bah tidak hanya bangunan fisik akan tetapi Arah (jihah) Ka'bah.
Dalam
disiplin ilmu hadits apabila ada dua hadits yang berbeda dan sama
shahihnya maka wajib di jami'kan/kompromikan selama bisa, dengan
menempatkan hadist-hadist tersebut pada kondisi yang berbeda. Maka
hadist Ibnu Abbas konteksnya adalah orang-orang yang dapat melihat
bangunan ka'bah secara langsung sedangkan hadits Abu Hurairah diarahkan
pada orang-orang yang tidak dapat melihatnya secara langsung.
Pendapat ini dikuatkan dengan beberapa argumen,
a. Penafsiran ulama dalam firman Allah:
فول وجهك شطر المسجد الحرام وحيث ما كنتم فولوا وجوهكم شطره
"Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya."
Lafadz
syathr menurut para ‘ulama maknanya adalah jihah, nahwu, qiblat
sebagaimana pendapat imam Nawawi, ibnu Qudamah, imam ‘Ali bin abi
Thalib, ibnu al' Aliyah, Mujahid, Ikrimah, Sa'id bin Jubair, Qatadah
dan yang lainnya.
Lain
halnya dengan Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya Tuhfatul Muhtaj,
beliau menafsiri ayat tersebut dengan 'ainul ka'bah berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dan mengarahkan hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Baihaqi terkhusus pada penduduk Madinah dan yang
searah dengan Madinah.
Dari sini bisa diketahui bahwa penafsiran ibnu Hajar berbeda dengan penafsiran mayoritas Ulama'.
b.
Lafadz "ما" adalah lafadz yang menunjukkan ma'na umum. Sehingga dalam
menanggapi hadits di atas Imam Ibnu Qudamah mengatakan antara timur dan
barat secara keseluruhan adalah kiblat.
c.
Selain itu para Ulama' telah sepakat bahwa barisan jamaah shalat yang
panjangnya melebihi ukuran ka'bah ketika mereka sholat dan jaraknya
jauh dari ka'bah sehingga tidak bisa melihat fisiknya maka sholat
semuanya sah.
d.
Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan shalat dengan tidak menghadap
ke fisik Ka'bah. Hal ini terbukti dengan arah kiblat Masjid Nabawi dan
Kuba' Madinah yang menurut falak melenceng sangat jauh, dimana Masjid
Nabawi melenceng 4,5 derajad kearah barat dari Ka'bah sepanjang 26 km,
sedangkan masjid Kuba' 8,5 derajad sepanjang 50 km kearah yang sama.
KEDUDUKAN ILMU FALAK DAN SAINS DALAM ISLAM
PERLUKAH MERUBAH ARAH KIBLAT MASJID YANG SUDAH ADA?
Dengan
mengetahui perkhilafan para Ulama' tentang ketentuan menghadap kiblat
maka kita tahu bahwa keberadaan masjid di Indonesia khususnya
masjid-masjid yang didirikan para wali dan Ulama' terdahulu sudah
sesuai dengan Syariat, walaupun jika diukur dengan ilmu falak posisinya
tidak lurus bertepatan dengan ka'bah. Maka dari itu merubah mihrab
masjid - masjid yang sudah ada hukumnya haram dengan beberapa alasan :
1.
Pendirian Masjid-masjid yang terdapat di Indonesia sudah sesuai dengan
pendapat mayoritas Ulama' yang berdasar al Qur'an dan Hadis. Maka
dengan merubah mihrab yang sudah ada dengan mengikuti petunjuk alat
seperti kompas, Google maps dan yang lainnya berarti mendahulukan alat
yang bersifat materi daripada al Qur'an dan Hadits.
2.
Status mihrab menduduki kedudukan Mukhbir ‘an ‘ilmin (orang yang
memberi kabar melihat ka'bah secara langsung) yang derajatnya lebih
didahulukan dari ijtihad. Maka dari itu haram merubah mihrab yang telah
ada dengan dasar ijtihad yang berpegangan pada ilmu falak.
3. Bertentangan dengan Qaidah :
لا ينكر المختلف فيه و إنما ينكر المجمع عليه
"Suatu kemungkaran yang wajib diingkari adalah perkara yang sudah disepakati para ulama' atas keharamannya".
Adapun
masalah yang masih menjadi perkhilafan di antara para ulama' maka
tidak wajib untuk diingkari. Akan tetapi diperbolehkan mengingkarinya
jika memenuhi beberapa syarat sebagai berikut :
- Tidak masuk dalam perkhilafan yang lain,
- Tidak bertentangan dengan Hadits,
- Tidak menimbulkan fitnah.
Menyalahkan atau bahkan merubah
arah kiblat yang telah ada Indonesia berarti termasuk ingkar yang
hukumnnya haram karena menimbulkan fitnah (perpecahan umat islam),
bahkan menimbulkan keraguan pada masyarakat atas kebenaran kiblat para
wali & para ulama'-ulama' terdahulu yang berpegang teguh dengan
dalil syar'i,menyalahi pendapat ulama' yang memperbolehkan menghadap
arah ka'bah, menentang hukum yang telah ditetapkan Nabi, sementara
mereka yang merubah mihrab hanya berdasarkan Google Map yang tidak bisa
dikategorikan sebagai dalil syar'i.
KESIMPULAN
Para
ulama sepakat bahwa orang yang bisa melihat ka'bah wajib menghadap
fisik ka'bah (‘ain al-ka'bah). Sementara itu, mereka yang tidak bisa
melihat ka'bah maka para ulama berbeda pendapat.
Pertama,
Jumhur ulama dan termasuk qaul kedua dalam madzhab Syafi'i berpendapat
cukup dengan menghadap arah ka'bah (jihah al-ka'bah). Adapun dalil
yang dikemukakan oleh Jumhur adalah sabda Nabi saw yang diriwayatkan
oleh Imam Ibn Majah dan al-Tirmidzi yang berbunyi, "antara Timur dan
Barat adalah Kiblat". Secara lahiriah hadis itu menunjukkan bahwa semua
yang berada di antara keduanya termasuk kiblat. Sebab, bila diwajibkan
menghadap fisik ka'bah, maka tidak sah salatnya orang-orang yang
berada jauh dari ka'bah karena tidak bisa memastikan shalatnya
menghadap fisik ka'bah.
Kedua, qaul awal dalam madzhab
Syafi'i berpendapat bahwa wajib bagi orang yang jauh dari Makkah untuk
menghadap ‘ain al-ka'bah. Adapun dalil yang digunakan adalah ayat 144
surat al-Baqarah dan Hadis riwayat Ibnu Abbas.
Apabila
pendapat kedua ini kita gunakan, maka umat akan mengalami kesulitan
dalam melaksanakan shalat yang merupakan induk segala peribadatan dalam
Islam. Sebab, umat akan mengalami kesulitan dalam memastikan akurasi
arah kiblatnya karena berbagai keterbatasan terutama ilmu pengetahuan.
Akibatnya, umat Islam tidak dapat melaksanakan ibadah shalat sesuai
ketentuan tersebut karena tidak dapat memenuhi salah satu syarat sahnya
salat yaitu menghadap kiblat.
Referensi
Muslim, Shahih muslim.
Al-Majmu', al-Imam al-Nawawi,
al-Mughni, ibnu al-Qadamah,
Tafsir ibnu Katsir,
Tuhfatu al-Muhtaj, ibnu Hajar,
Prof. Dr. Wahbah al Zuhaily, Al Fiqh al Islamy wa Adillatuh
al Imam al Kasani, Badai'u al-Shonai' fi Tartibi al Syarai',
Bidayatul mujtahid wa nihayatul muqtasid, ibnu ar-Rusyd,
al Imam al Qurthubi, al Jami' li Ahkamil Qur'an,
Muhammad bin Ismail al Bukhori, Sahih al-bukhori,
Sunan al-Baihaqi al-Kubra, baihaqi,
al Sayyid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba'alawi, Bughyatu al-Mustarsyidin al Muhadzab,
Imam al Syairozi, Al Mughni,
Ibnu al Qadamah,
Prof. Dr. Musthofa Ya'qub, al Qiblat
Al-Majmu', al-Imam al-Nawawi
Umdatul Mufti walmustafti ,Umar bin Abdul Aziz al Hanafi
Hasyiyatul Bujairimi ‘ala al Manhaj Sulaiman bin Muhammad Al Bujairimi,
al Asybah wa an Nadloir, Imam Al Suyuthi
Raudlatut Thalibin, Imam Al Nawawi
al Fawaidul Janiyyah, Syaikh Yasin bin Isa al Fadani
- JIL (Jaringan Islam Liberal) dan Kristen
eramuslim - Strategi Kristenisasi kini menggencarkan siasat baru. Selain... - Pernyataan-pernyataan para imam mengenai perubahan (tahrif) yang terjadi dalam al-Quran al-karim Bag 3
As-Syaikh Ni’matullah al-Jazairi 2) mengakui dalam keterangannya yang telah... - Pernyataan-pernyataan para imam mengenai perubahan (tahrif) yang terjadi dalam al-Quran al-karim Bag 2
Measih bisa diketengahkan sejumlah besar riwayat-riwayat kitab Ushul Al-Kafi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar